Changi Airport

Belum sempat Shomad memenjamkan mata untuk tidur, dari sistem audio pesawat sebuah suara merdu mengumumkan dalam dwi bahasa bahwa sebentar lagi pesawat yang tengah dinaiki akan singgah sebentar di negeri seberang: SINGAPURA!

Dia melihat beberapa teman yang beberapa jam yang lalu berkenalan dengannya yang sedang bersiap-siap turun. Seseorang menyapanya dengan logat betawi kental, “Ngga ikutan turun, bang?”
“Boleh turun berapa lama emangnya?” Balas Shomad balik bertanya.
“Tadi mbak pramugari bilang: kita boleh jalan-jalan 2 jam di Singapore,” Lelaki tanggung yang juga Mahasiswa program Master itu menjelaskan dengan ramah. “Ayo, mau jalan bareng, pak?” tawarnya.

“Wah, terima kasih. Kalian duluan saja,” tolak Shomad halus. Setelah keduanya menghilang di pintu pesawat, dia menimbang-nimbang ulang. Sepertinya rugi kalau sudah di Singapura tapi tidak jalan-jalan. At least, keluarlah Shomad untuk sekadar menikmati udara malam Singapura sendirian. Continue reading

Aku Rupanya Jauh lebih Kecil

Langit Kaliwungu bersinar dengan bersahabat siang ini. Tidak terlalu panas seperti seminggu terakhir. Shomad sesekali menyapa orang yang dikenalnya di jalan kampungnya. Suasana hatinya saat ini amat baik. Dengan menenteng ransel gunung andalannya, dia akan berangkat ke Eropa. Setelah lama bergolak dengan keputusan diri sendiri untuk berangkat atau tidak. Well, akhirnya dia memutuskan untuk berangkat juga. Selama seminggu batinnya bergolak untuk keputusannya saat ini.

Dari Kaliwungu dia naik kereta ekonomi menuju gambir, karena tarifnya yang merakyat sekali: cukup Rp. 28.000 anda sudah akan sampai di Jakarta, tentunya dengan suasana khas kereta ekonomi. Keluar dari stasiun Gambir, dengan bus kota Damri Shomad meluncur ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dia menyaksikan realita kehidupan di ibukota dengan hati miris. Macet dimana-mana. Rumah kumuh di beberapa sudut. Dan panas. Entah sampai kapan Ibukota RI ini bisa sembuh dari penyakit-penyakit kronisnya. Continue reading

Aku Menunggumu

Langit Rotterdam di awal musim semi sore hari begitu sejuk. Si nona mempercepat langkahnya pulang. Sudah seminggu ini dia menghabiskan waktu di pusat Modelling Dunia, Paris. Saking sibuknya, dia lupa membalas chat terakhir untuk teman baiknya di facebook (Masih inget om shomad, kan?).

Ketika berjalan memasuki rumah, si nona hanya menyapa mamanya dengan pelukan sekilas, tak menghiraukan pertanyaan sang mama: kamu pulang naik apa, sayang?, dan langsungngeloyor masuk kamarnya. Sudah menunggu di sudut kamarnya sebuah komputer yang tengah menyala. Hm, mungkin baru saja dipakai Lily.

Dan setelah berhasil login ke akun facebooknya, nona terpaku menatap pesan terakhir yang dikirimkan oleh om Shomad:
Non, bagaimana harus kukatakan padamu tentang perasanku saat ini? Aku sangat senang sekali jika bisa mengunjungimu dan keluarga nun di Belanda sana. Alangkah bahagianya bisa melanjutkan silaturahmi (pertemanan) kita. Tapi Aku tetap lelaki normal yang sangat malu, karena ingin mengunjungimu, tetapi mengandalkan uangmu. Lalu, apa bedanya Aku dengan lelaki parasit yang hanya bisa memanfaatkan teman yang baru saja dikenalnya? 😥 Continue reading

Kejutan dari Negeri Kincir Angin

Ini bukan salah satu kisah tentang penjajahan. Sama sekali bukan. Kisah ini berasal dari cerita pamanku, tentang petualangannya yang tak terduga beberapa waktu lalu di Negeri Kincir Angin selama 3 bulan (kurang lebih).

Pamanku tidak berasal dari golongan terdidik, belum sempat merasakan bangku kuliah, beliau merantau ke Korea untuk mencari nafkah. Seperti bujangan-bujangan lain yang senasib dengannya di kampung halaman.
Kisah ini berawal dari facebook, tak sengaja pamanku berkenalan dengan seorang Nona Belanda yang di-addnya di akun jejaring sosial paling happening di Indonesia: FACEBOOK. Continue reading