Ravie de te recontrer, Norma

Belajar bahasa Prancis bukan perkara mudah buatku. Bunyi bahasa Prancis melulu menggunakan tenaga dalam, maksudku tenggorokan 😀 yang membuat orang sepertiku mengerahkan tenaga ekstra hanya untuk berlatih melafalkannya. Maka aku takut jika bertemu orang prancis. Takut kalo mereka tidak mengerti bahasa Inggris (aku pernah membaca sebuah artikel yang bercerita tentang keengganan orang Prancis belajar bahasa Inggris dari zaman Napoleon).

Tapi akhirnya aku dipertemukan juga dengan cewek Prancis beberapa minggu yang lalu. Untungnya, tidak seperti yang kutakutkan, cewek cantik ini sangat fasih berbahasa Inggris… sehingga perkenalan kami menjadi seru karena bisa nyambung 🙂

Kadang menunggu itu menyenangkan juga

Salah satu hal yang sebisa mungkin kuhindari adalah menunggu! Tapi kadang saat terpaksa tak ada pilihan yang lain, apa boleh buat, aku tetap harus menunggu. Siang itu aku sedang menunggu jam terbang selama dua jam ketika aku melihat ada sebuah tempat kosong untuk duduk di pojok ruangan. Aku tersenyum kepada pasangan Bule yang duduk tepat di sebelahku dan sekadar berbasa-basi apakah mereka sedang liburan, dilihat dari tas ala backpacker mereka. Karena si cewek bule menjawab pertanyaanku dengan fasih dalam bahasa Inggris, aku dengan iseng bertanya,”so, where are you come from?” “I and my boyfriend from France,” jawabnya. Sempat melongo sejenak sebelum menguasai diri lagi, akupun mengomentari bahasa Inggrisnya yang fasih untuk ukuran non native speaker (kayak aku, huek 😀 )

4147_1168115482947_7141814_nLalu kami berkenalan…

<— this is Norma
Continue reading

Bye-bye Semarang, Hi Jakarta!

12 mei 2014

Seharusnya aku mendokumentasikan perjalanan ini lebih cepat.. tapi tak apa, karena sebagian besar detail memori selama perjalanan umrah masih terekam dengan baik dalam ingatan. Well, cekidot!

 

15.00 wib

Abah mengimami Ummi, Nuha dan aku solat safar di musholla samping rumah. Setelah itu iqamat solat ashar berkumandang kemudian kami menunaikan solat ashar berjamaah. Usai solat, tetangga kami Pak Tri, membuat pengumuman bahwa aku sekeluarga akan berangkat umrah sore ini. Aku dan Ummi saling berpandangan. Oh, pak Tri!

Walhasil, para tetangga yang mendengar pengumuman dari speaker musholla, baik yang berjamaah ashar maupun yang tidak, berdatangan ke rumah untuk melepas keberangkatan kami. Ya ampun, kok kayak orang mau berangkat haji aja.. padahal baru umroh. Hatiku mengembun, sejuk.

Continue reading

Kaliwungu dan Amsterdam

Shomad mengerjapkan matanya, mengumpulkan kesadaran dan melihat sekelilingnya. Oh, dia ingat sekarang. Kursi yang didudukinya bernomor 13 pesawat tujuan Amsterdam, Belanda. Dalam tidurnya yang kurang nyaman dia bermimpi aneh.

Bagaimana tidak aneh jika dalam mimpinya dia sudah tiba di Belanda. Akan tetapi mimpinya tentang Negeri Kincir Angin ini sangat jauh dari harapan. Saat tiba di bandara Schipol, bukan Nona yang menjemputnya tapi ibunya. Masih bingung akan bayangannya tentang Belanda yang sangat berbeda, keduanya memilih untuk menaiki taksi menuju tempat antah berantah.

Bukannya menuju salah satu rumah indah ala Belanda, tetapi (lagi-lagi) tujuannya adalah sebuah perempatan yang hiruk-pikuk. Dia berpikir keras sebelum menyadari bahwa tempat yang penuh dengan pedagang jajanan yang lezat ini adalah perempatan sawahjati. Ibu menatapnya lembut dan menepuk lembut pundak Shomad. Seketika Shomad tersadar dari lamunannya. Aku hanya bermimpi… Continue reading

Aku Rupanya Jauh lebih Kecil

Langit Kaliwungu bersinar dengan bersahabat siang ini. Tidak terlalu panas seperti seminggu terakhir. Shomad sesekali menyapa orang yang dikenalnya di jalan kampungnya. Suasana hatinya saat ini amat baik. Dengan menenteng ransel gunung andalannya, dia akan berangkat ke Eropa. Setelah lama bergolak dengan keputusan diri sendiri untuk berangkat atau tidak. Well, akhirnya dia memutuskan untuk berangkat juga. Selama seminggu batinnya bergolak untuk keputusannya saat ini.

Dari Kaliwungu dia naik kereta ekonomi menuju gambir, karena tarifnya yang merakyat sekali: cukup Rp. 28.000 anda sudah akan sampai di Jakarta, tentunya dengan suasana khas kereta ekonomi. Keluar dari stasiun Gambir, dengan bus kota Damri Shomad meluncur ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dia menyaksikan realita kehidupan di ibukota dengan hati miris. Macet dimana-mana. Rumah kumuh di beberapa sudut. Dan panas. Entah sampai kapan Ibukota RI ini bisa sembuh dari penyakit-penyakit kronisnya. Continue reading